Cinta.
Siapa yang tak mengenal kata
cinta. Aku yakin setiap orang pasti mengenalnya, setidaknya pernah mendengar
kata itu di telinganya. Aku mengenal kata cinta lewat dongeng Putri dan
Pangeran. Memimpikan pangeran berkuda putih menyatakan cinta padaku kemudian
hidup bahagia selamanya. Happily ever
after layaknya cerita dongeng. Aku memang masih memimpikan hal itu tetapi
aku sadar bahwa aku hidup di dunia nyata dan bukan dunia dongeng.
Realita membuyarkan anganku
tentang cinta. Saat remaja aku selalu bertanya, “Apakah tidak ada yang suka
padaku?” Pertanyaan itu timbul saat teman-teman mulai pacaran. Aku rasa aku
tidaklah buruk tetapi kenapa tidak ada yang mau jadi pacarku? Pertanyaan itu
selalu terngiang. Hingga aku menyadari sesuatu.
Mungkin Allah tidak mengabulkan
keinginan sepintasku karena itu bertentangan dengan prinsipku. Ya, aku
mempunyai prinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah. Prinsip itu muncul
begitu saja padahal dulu aku bukan orang yang taat agama. Mungkin aku hanya
ingin mengecap rasa pacaran dengan segala euforianya, tetapi tidak benar-benar
membutuhkannya.
Aku sadar bahwa aku sudah
memiliki cinta yang tak kan lekang oleh waktu, yakni cinta kedua orang tuaku.
Dan baru ku sadari setelahnya bahwa Allah lah sumber cinta itu. Allah
menganugerahkan cinta di hati orang tuaku untukku. Allah yang memberikan cinta
kepada setiap hambaNya. Allah yang telah memberiku banyak hal dengan cintaNya.
Maka, sudah seharusnya Allah dijadikan cinta sejati, cinta yang paling tinggi.
Aku tak bisa mengakui
mencintaiNya jika aku tak melaksanakan perintahNya. Ya, aku sadari itu. Sehingga aku berusaha
membangun cinta untukNya. Memenuhi kewajibanku kepadaNya. Ku penuhi shalatku
yang dulu bolong-bolong. Ku putuskan untuk menutup aurat. Ku belajar berhijab
seutuhnya. Rok pendek ku ganti dengan baju panjang. Rambut yang tergerai ku
balut dengan jilbab lebar menutup dada. Dan kaos kaki yang selalu menyertai
saat melangkah pergi. Perubahanku yang tergolong begitu cepat sontak membuat
orang-orang terdekatku kaget. Berbagai pertanyaan, kecurigaan, dan kekhawatiran
itu hadir terhadapku. Tak ayal penentangan itu pun datang dari mereka yang
kusayangi, keluargaku. Mereka takut aku mengikuti ajaran sesat atau terlibat
terorisme. Respon mereka tak jarang membuatku sampai mengeluarkan air mata.
Rasanya hati ini sesak. Aku hanya ingin menunaikan kewajibanku sebagai muslimah
dengan sebenar-benarnya itu saja. Walaupun begitu, aku tetap tak gentar karena
aku telah menetapkan hati. Sabar, hanya itu yang bisa dilakukan. Dan kini
kesabaran itu pun berbuah. Dukungan itu pun ku dapatkan.
Satu ujian selesai, ujian
selanjutnya pun pasti akan datang. Itulah wujud cinta Allah kepada hambaNya. Ujian
yang mungkin paling berat adalah ujian yang berkaitan dengan hati. Bagaimana
saat hati mungkin goyah? Saat suatu rasa mulai memasuki hatimu dan kau tak tau
pasti itu apa. Rasa yang muncul karena hadirnya seseorang. Rasa yang membuat
takut karena mungkin hati itu tak lagi perawan. Yang hanya bisa dilakukan saat
kegalauan merasuk jiwa hanyalah bersimpuh dihadapanNya, menangis atas sebuah
rasa yang tak pantas hadir sebelum waktunya. Walaupun setiap cinta itu adalah
fitrah, tetapi rasa itu belum tentu cinta. Rasa yang hadir sebelum pernikahan
akan lebih dekat terhadap nafsu. Dan nafsu berpotensi untuk menjauhkan diri
dari cintaNya. Aku tak ingin diriku masuk dalam jurang nafsu. Aku ingin
mengunci hatiku dengan cinta hanya padaNya. Dan jika suatu saat aku harus
membuka pintu itu, maka kuncinya ku serahkan pada Allah. Kunci yang menghalalkan
segala rasa yang ada di hati. Sebuah pernikahan. Dan jika saat itu tiba,
inginku menikah karena cinta kepadaNya.
Hingga saat bahagia itu tiba, aku
hanya bisa menanti dengan rengkuhan doa. Memantaskan diri. Karena laki-laki
yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Aku sadari bahwa diri ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karenanya, aku hanya bisa belajar. Belajar cinta kepadaNya
dalam setiap proses kehidupanku. Belajar mencintaiNya dengan setulusnya. Karena
Dia yang Maha Pemilik Cinta
Komentar
Posting Komentar