Kami Berbaiat kepada Nabi
Kita menyaksikan sejarah keterlibatan Ummu Imarah binti Ka'ab, seorang perempuan Banu mazin, dan Asma' binti Amr bin Adi, perempuan dari Bani Salamah, dalam baiat Aqabah kedua bersama 73 kaum laki-laki. Bai'at Aqabah kedua terjadi pada malam hari di lembah Aqabah, berisi janji setia 75 sahabat Yastrib kepada Rasul saw.
Mereka berjanji untuksenantiasa mendengar dan taat, berinfaq di waktu sempit maupun lapang, untuk senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi munkar, untuk berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela, serta senantiasa membela Nabi saw. Dalam kitab manhaj Haraki, baiah ini merupakan persiapan pembentukan negara.
Setelah itu, kita juga mendapatkan kisah perempuan-perempuan mu'minat berbaiat kepada Rasul saw sesuai dengan perintah Allah Ta'ala:
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia (baiat) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka" (Q.S Al Mumtahanah:12)
Bai'at adalah manifesto kesetiaan kepada kepala negara, dengan demikian dianggap sebagai perwujudan partisipasi politik muslimah dalam urusan kenegaraan. Bahkan dalam pengertian Ahmad Shadiq Abdurrahman, baiat adalah janji setia terhadap sistem politik islam atau kekhalifaan islam, serta kesetiaanya kepada jamaah kaum muslim dan kepatuhan kepada pemimpin.
Dalam sejarah, secara khusus kita mengenal istilah bai'atun nisa' yaitu baiat kaum perempuan kepada Nabi atau juga bai'at yang didalamnya tidak mengandung peperangan.
cuplikan dari buku Fikih Politik Perempuan
Komentar
Posting Komentar