Kau sebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari
yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan
warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus
jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang
dalam hujan. Kau di beranda
sendiri, "Kemana pula burung-burung itu (yang bahkan
tak pernah kau lihat, yang menjelma semacam nyanyian
semacam keheningan) terbang; kemana pula siut daun
yang berayun jatuh dalam setiap impian?"
(Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,
yang pelahan mengendap di udara) kau sebut cintamu
penghujan panjang, yang tak habis-habisnya
membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.
Di beranda kau duduk
sendiri, "Dimana pula sekawanan kupu-kupu itu,
menghindar dari pandangku; dimana pula
(ah, tidak) rinduku yang dahulu?"
Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar
kepada hujan, sendiri,
"Dimanakah sorgaku itu: nyanyian
yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,
kata demi kata yang pernah ku hafal,
bahkan dalam igauanku?" Dan kau sebut
hidupmu sore hari (dan bukan siang
yang bernafas dengan sengit
yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari), yang basah
yang meleleh dalam senandung hujan,
yang larut.
Amin
-Sapardi Djoko Damono (1970)
Komentar
Posting Komentar