pada awalnya berpikir menumbuhkan keingintahuan,
keingintahuan melahirkan perbuatan,
dan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang
membentuk kebiasaan
Ibnu al Qayyim al Jauziyah
Menjadi
muslim pembelajar adalah sebuah usaha yang harus disadari oleh setiap muslim.
Kita bisa meladani para generasi pertama islam yang mampu melakukan lompatan
luar biasa dalam memimpin garda peradaban dunia. Sayyid Quthb dalam bukunya Ma’alim fi ath-Thariq menjelaskan, “Kehebatan generasi sahabat bukan
semata-mata karena di sana ada Rosulullah, sebab jika ini jawabannya berarti
islam tidak rahmatan lil alamin. Kehebatan
mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal
berupaya mengamalkannya.”
Semangat
untuk belajar akan mendorong munculnya tradisi-tradisi muslim pembelajar. Dwi
Budiyanto dalam bukunya Prophetic
Learning mengemukakan beberapa tradisi muslim pembelajar di antaranya
membaca, menulis, rihlah ilmiah, dan tradisi berfikir (tafakur). Iqra’ merupakan perintah dalam wahyu
pertama yang begitu lekat dihayati oleh para generasi awal islam. Ia menjadi
dasar bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban islam. Sebuah peradaban yang
meletakkan kesadaran dan pengetahuan sebagai titik awal perkembangan. Sebuah
peradaban yang dibangun melalui tradisi literasi yang kuat, yaitu tradisi yang
menempatkan baca-tulis sebagai pijakan. Membaca adalah instrumen utamanya. Jika
kita ingin menggairahkan tradisi ilmiah kita, sudah saatnya kita berhenti
membaca apa yang kita senangi saja. Beralih untuk membaca apa yang seharusnya kita
baca.
Menulis
adalah tradisi mengikat gagasan. Kalam, kata yang digunakan Al Qur’an untuk
menekankan bahwa tradisi menulis mampu memperluas wawasan, mengikat
pengetahuan, dan merekam suatu gagasan. Setiap orang bisa menulis. Yang
membedakan hanyalah apakah ia mau berlatih dan berkomitmen untuk menulis atau
tidak.
Rihlah
ilmiah merupakan sebuah pengembaraan dalam menuntut ilmu. Tradisi ini sering
dilakukan oleh generasi salaf. Rihlah ilmiah akan memperluas dan mematangkan
ilmu serta mematangkan karakter seseorang. Lalu tradisi berfikir yang benar
akan menguatkan potensi diri seseorang. Berpikir dilakukan untuk memahami
realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan
menghasilkan sesuatu yang baru. Karena bukankah Al Qur’an sennatiasa
mengingatkan kita dengan afala
tatafakkarun ‘tidakkah kamu memikirkannya’? Sebuah dorongan yang memacu
kita untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Yang secara otomatis seharusnya
mengokohkan kita untuk mengembangkan tradisi ilmiah kita, yang juga tradisi
kita sebagai muslim pembelajar.
Menurut
Anis Matta, tradisi ilmiah bukanlah sekedar kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang
baik, tapi lebih merupakan standar mutu yang menjelaskan kepada kita peringkat
mana peradaban suatu bangsa atau suatu komunitas itu berada. Tradisi ilmiah
bukanlah gambaran dari suatu kondisi permanen. Namun, lebih mengacu kepada
suatu proses yang dinamis dan berkembang secara berkesinambungan. Mereka yang
hidup dalam sebuah komunitas dengan tradisi ilmiah yang kokoh merasakan kemandirian,
aktualisasi diri, kebebasan, kemerdekaan, tapi juga menikmati perbedaan,
tantangan, dan segala hal yang baru. Mereka juga betah menelusuri detil dan
kerumitan, sabar dalam ketidakpastian, dingin dalam kegaduhan, tapi sangat
percaya diri dalam mengambil keputusan.
Setiap
da’i hendaknya menggabungkan antara pengetahuan yang komprehensif, bersifat
lintas disiplin dan generalis, dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu
bidang ilmu sebagai spesialisasinya. Yang pertama mengacu kepada keluasan. Sedangkan
yang kedua mengacu kepada kedalaman. Yang pertama memberikan efek integralitas.
Yang kedua memberi efek ketepatan. Dengan begitu, seorang da’i senantiasa
berbicara dengan isi yang luas dan dalam, integral dan tajam, berbobot dan
terasa penuh.
Membangun
sebuah tradisi ilmiah yang kokoh tentu membutuhkan kesungguhan, keseriusan, dan
kesabaran yang melelahkan. Karena bukankah dakwah ini memang wilayah
orang-orang serius, penuh tekad, dan sabar?
Hal
yang juga tidak kalah pentingnya adalah mengintegrasikan ilmu pengetahuan
dengan akidah di dalam sanubari, dan menyadarinya sebagai konsekuensi logis
dari penghambaan kepada Allah semata, atau dengan kata lain konsekuensi dari
syahadat an la ilaha illallah wa anna
Muhammadan rasulullah.
Referensi:
Ma’alim fi ath-Thariq karya Sayyid Quthb
Menikmati Demokrasi karya Anis
Matta
Prophetic Learning karya Dwi Budiyanto
Komentar
Posting Komentar